Profil 3 Hakim MK yang Dissenting Opinion dalam Putusan Tolak Permohonan Anies-Muhaimin


Jakarta, TRENDSULUT- Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 01 Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi atau MK.

Amar putusan. Mengadili: menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo yang diikuti dengan mengetuk palu sidang di Gedung MK, Jakarta, Senin,(22/04).

Adapun, dalam putusan itu, terdapat tiga orang hakim konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.

“Terdapat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari 3 orang hakim konstitusi yaitu hakim konstitusi Saldi Isra, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, dan hakim konstitusi Arief Hidayat,” ujar Suhartoyo.

Berikut profil 3 hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion dalam permohonan sengketa pilpres yang diajukan oleh Anies-Muhaimin:

Saldi Isra

Melansir laman MK, Saldi Isra lahir pada 20 Agustus 1968. Ia lahir di Solok, Sumatera barat. Hakim berusia 53 tahun tersebut, selain aktif di dunia hukum, Saldi memiliki hobi di bidang olahraga yaitu bulutangkis. Cerita perjalanan Saldi menjadi hakim berawal dari ketidaksengajaan. Sewaktu SMA, Saldi mengambil jurusan fisika sehingga sama sekali tidak pernah terbayang sebelumnya untuk melanjutkan pendidikan tingginya di jurusan ilmu hukum.

Pada akhirnya, Saldi lolos UMPTN di jurusan Ilmu Hukum Universitas Andalas dan lulus pada 1995. Kemudian, Saldi melanjutkan pendidikannya dengan meraih gelar Master of Public Administration dari Universitas Malaya, Malaysia.

Setelah itu, Saldi menyelesaikan studi strata tiga di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan berhasil meraih gelar Doktor dengan predikat Cum Laude.

Saldi diangkat sebagai Profesor Hukum Tata Negara di Universitas Andalas. Selain menjalani peran sebagai pengajar di universitas tersebut, Saldi Isra juga terkenal sebagai Kepala Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) di Fakultas Hukum Unand yang memfokuskan perhatian pada isu-isu ketatanegaraan. Selain itu, ia turut berperan aktif dalam gerakan anti-korupsi di Indonesia. 

Kiprah awal Saldi Isra di Mahkamah Konstitusi adalah pada 11 April 2017. Saldi ditunjuk Presiden Jokowi untuk menggantikan Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi pada masa jabatan 2017-2022.

Setelah itu, Saldi Isra terpilih menjadi Wakil Ketua MK periode 2023-2028. Ia mendapatkan jabatan tersebut setelah memperoleh suara terbanyak sebanyak 4 suara dari 9 Hakim Konstitusi pada rapat Pleno pemilihan Ketua dan Wakil MK.

Arief Hidayat

Arief Hidayat lahir di Semarang, 3 Februari 1956. Ia merupakan lulusan Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Setelah itu, ia mengambil program pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan lulus pada 1984.

Ia kemudian mengambil program doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro pada 2006. Dua tahun berselang, ia mendapatkan gelar Guru Besar dari Undip dan menjadi Dekan Fakultas Hukum.

Sepanjang kariernya, Arief fokus di dunia pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan generasi muda. Tak hanya itu, ia bercita-cita untuk menyebarkan virus-virus penegakan hukum kepada generasi muda. Sejak kecil pun ia hanya memiliki satu cita-cita, yaitu menjadi pengajar. 

Suatu kali, ia pernah dipesankan oleh seorang guru yang mengatakan bahwa profesi pengajar atau dosen memiliki konsekuensi sebagai profesi yang tidak mungkin kaya secara materiil. Namun, Arief mengatakan meski tidak kaya secara materiil, tetapi kaya akan ilmu dan penghargaan serta penghormatan dari para mahasiswa.

Setelah selesai menjabat dekan, dia pun memberanikan diri mendaftar sebagai hakim MK melalui jalur DPR. Keberanian ini diperolehnya berkat dukungan dari berbagai pihak terutama para guru besar Ilmu Hukum dan Tatanegara, seperti Guru Besar HTN Universitas Andalas Saldi Isra. Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR, Arief mengusung makalah bertajuk ‘Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945’.

Dinilai konsisten dengan paparan yang telah disampaikan dalam proses fit and proper test tersebut, ia pun terpilih menjadi hakim konstitusi, dengan mendapat dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR, mengalahkan dua pesaingnya yakni Sugianto (5 suara) dan Djafar Al Bram (1 suara). 

Setelah dua tahun menjadi hakim konstitusi, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, Arief justru mendapatkan kepercayaan lebih besar dengan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua MK periode 2014-2017.

Enny Nurbaningsih

Wanita kelahiran 27 Juni 1962 ini rela merantau dari Pangkal Pinang ke Yogyakarta guna menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). Ia pun merampungkan pendidikannya dan resmi menyandang gelar sebagai sarjana hukum pada 1981.

Selain mengajar pengajar, Enny terlibat aktif dalam organisasi yang terkait dengan ilmu hukum yang digelutinya, yaitu ilmu hukum tata negara. Sebut saja, Parliament Watch yang ia bentuk bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008 -2013 Mahfud MD pada 1998. Pembentukan Parliament Watch dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengawasan terhadap parlemen sebagai regulator.

Perjalanan karier Enny di dunia hukum semakin panjang dengan keterlibatannya dalam proses penataan regulasi baik di tingkat daerah hingga nasional. Keseriusan Enny mendalami penataan regulasi dikarenakan ia merasa hal tersebut sangat diperlukan oleh Indonesia. Dari situ, ia pun kerap diminta menjadi narasumber hingga menjadi staf ahli terkait.

“Semuanya mengalir begitu saja tanpa ada desain apapun. Saya pun mendalami bidang ilmu hukum perundang-undangan dan konstitusi. Dari sana pula, awal mula yang mengantarkan saya sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional selama 4 tahun,” jelasnya.

Terpilih sebagai hakim konstitusi, istri dari R. Sumendro dan ibu dari Prajaningrum Nurendra ini terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai hakim konstitusi perempuan di Indonesia. 

Enny menyadari bahwa sebagai seorang hakim konstitusi mengandung arti bekerja dalam sunyi di tengah keramaian. Pun menyadari jikga tugas hakim konstitusi untuk memutus sebuah perkara berada dalam posisi tegak lurus.

Tegak lurus yang Enny maksudkan, yakni tidak boleh ada keberpihakan. Hal inilah yang menyebabkan ruang gerak seorang hakim konstitusi menjadi ‘sempit’ dalam kehidupan sosialnya.(tmp*)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button